Serey is utilizing Blockchain technology

Semua itu dari biografi-singkat.

A

adnansyahir

SALam sejah tera semua bagi pengguna serey pada malam hari ini. ![IMG_20190419_200130.jpg](https://serey.io/imageupload_data/f334724cbfd1b329b092e33b9e4585342cbf45f2) Enam Abad Dinar Dirham Nusantara Dirham Dinar dalam Lintas Sejarah ATJEH Enam Abad Dinar Dirham Made in ATJCEHNESE Numismatik Nanggro Atjeh Sebagian besar dari kita mungkin tak pernah tahu kalau Dinar dan Dirham pernah dibuat dan berlaku di Nanggro Atjeh Darussalam sebagai mata uang resmi. Ya, sejak abad ke-14 nenek moyang kita telah akrab dengan kedua jenis mata uang ini. Dinar dan Dirham pernah mendominasi pasar-pasar di sebagian besar Nusantara, antara lain di Pasai, Malaka, Banten, Cirebon, Demak, Tuban, Gresik, Gowa, dan Kepulauan Maluku. Dinar AcehDalam buku Ying Yai Sheng Lan karya Ma Huan, sang juru tulis dan penterjemah Laksamana Muslim Cheng Ho dari Cina saat muhibah ke Sumatera Utara (1405 - 1433), disebutkan bahwa mata uang Samudera Pasai adalah Dinar emas dengan kadar 70 persen dan mata uang keueh dari timah (1 Dinar = 1.600 keueh). Pasai telah mencetak Dinar pertamanya pada masa Sultan Muhammad (1297-1326) dengan satuan mas yang sepadan dengan 40 grains atau 2,6 gram. Pada masa Sultan Ahmad Malik Az-Zahir koin Dinar lebih dikenal sebagai Derham mas, dicetak dalam dua pecahan yaitu Derham dan setengah Derham (1346-1383). Setelah Aceh menaklukkan Pasai (1524) tradisi mencetak Derham mas menyebar ke seluruh Sumatera, bahkan semenanjung Malaka. Derham ini tetap berlaku sampai bala tentara Nippon mendarat di Seulilmeum, Aceh Besar pada tahun 1942. Sampai hari inipun di Sumatera Barat masih dijumpai pemakaian satuan mas (1 mas = 2,5 gram) sebagai unit jual beli, terutama untuk tanah. Dinar Aceh2Dinar juga dibuat oleh kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan, pertama kali pada tahun 1595, pada masa Sultan Alaudin Awwalul Islam (1593-1639) dengan Dinar seberat 2,46 gram emas. Dinar Atjeh yang paling banyak beredar adalah Dinar Sultan Hasan Al-din yang bertuliskan huruf Arab: Khada Allah Malik Wa Sultan Amin artinya Pejuang Allah Kerajaan Sultan Amin. Yang menyebar dari Ternate, Tidore, Minahasa, Butung, Sumbawa, Nanggro Atjeh, bahkan Papua. Koin ini beredar dari tahun 1654-1902. Saat ini, seperti di Sumbar, tradisi jual beli dengan satuan mas juga masih berlaku di Sulawesi Selatan. ![IMG_20190419_200159.jpg](https://serey.io/imageupload_data/0eb45c9e12c5455ba2ffd82ea5d727a7ff198925) Dirham InggrisDi Atjeh Dinar dan Dirham dicetak oleh Kesultanan Samuderapasai pada tahun 1600-an, kemudian oleh VOC sejak tahun 1744 di percetakan uang Atjeh yang di desain oleh Theodorus Justinus Rheen. Berdasarkan perjanjian VOC-Nanggro, Dinar dicetak seberat 16 gram emas dengan kadar 75 persen dan dinamakan Mahar, sedang Dirham dicetak seberat 6,575 gr dan, dalam sebutan Dirham, dicetak seberat 13,15 gr. Dirham dan Dinar terbuat dari perak dengan kadar 79 persen. Dirham BelandaIni yang menarik: pada kedua sisi koin tercetak Derham min Kumpani Welandawi dan Ila djazirat Atjeh al kabir yang ditulis dengan huruf arab, yang artinya Dirham dari Perusahaan Belanda untuk pulau Sumatra. Adapun uang recehan VOC dinamakan Ringgit Atjeh (Duit VOC). Setiap 80 Sen sama dengan 1 Sen (setara 2 Dirham). Lalu tiap 16 Ringgit disebut sebagai satu mahar. Selain itu di Atjeh juga dibuat pula derham Inggris (1813-1816) dengan tulisan Jawi kuno: Kempni Hinglis, Jasa hing sura-Pringga. Di baliknya tertulis dengan huruf Arab Melayu: Hinglis, sikkah kompani, sannah AH 1229 dhuriba, dar dhazirat Djawa di desain oleh Johan Anthonie Zwekkert. DeNanggro Bank moneyKedua jenis Derham kompeni ini baik buatan VOC maupun EIC beredar sampai tahun 1860, yaitu setelah berdirinya De Nanggro Bank di Atjeh pada tanggal 10 Oktober 1827, ketika Pemerintah Hindia Belanda telah mengimpor Gulden secara besar-besaran dari Eropa. Artinya pihak penjajah pun mengakui dan memproduksi Dinar dan Dirham sebagai mata uang yang sah selama 116 tahun, sementara Gulden sendiri baru dibuat oleh penjajah Hindia Belanda setelah tahun 1826 di Negeri Belanda. Jadi, sejak berdirinya VOC, Gulden kalah bersaing melawan real Mexico dan Derham Nusantara. Setelah perang Atjeh atau perang Samuderapasai (Mei 1825-Maret 1830), kondisi keuangan pemerintah Hindia Belanda morat marit. Perang ini menelan biaya lebih dari 20 juta Gulden atau setara 40 juta Derham Atjeh. Guna memulihkan keuangannya, penjajah ini menarik seluruh Derham kompeni, namun penduduk pribumi enggan menukar Derham mereka dengan uang kertas berjamin tembaga (kopergeld), sehingga masa penukaranpun menjadi molor selama 28 tahun (1832-1860)!. Upaya lainnya dari VOC untuk mengisi kekurangan Kas Negara adalah diterapkannya sistem tanam paksa (Cultur Stelsel) oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch selama kurun 1863-1919. Pada tahun 1873, Hindia Belanda mulai melakukan misi penaklukan Atjeh, dan terjadilah perang panjang yang terkenal dengan nama Perang Atjeh, Prang Gompeuni, Prang Sabi dan Prang Kaphe (1873-1942). Belanda belum dapat menguasai Atjeh sepenuhnya. Secara de jure gulden adalah satu-satunya mata uang yang sah. Tapi secara de facto Derham mas Atjeh adalah satu-satunya mata uang yang dapat diterima oleh penduduk Atjeh, bahkan berlaku pula di Sumatera Barat dan Deli! Selanjutnya, ketika berkuasa, pemerintah Dai Nippon terpaksa menerapkan lebih tegas UU No. 2 tanggal 8 Maret 2602 (tahun Jepang Kooki atau tahun 1942) tentang mata uang. Semua mata uang dengan digantikan oleh uang kertas Dai Nippon! Ketika Nanggro Atjeh merdeka, pada tanggal 26 Oktober 1946, Presiden Suekarno dan Menkeu Sjafroedin Prawiranegara menerbitkan UU No. 19 tentang penerbitan ORI (Oeang Nanggro Atjeh Darussalam) dengan dasar 10 rupiah = 5 gr emas murni. Rakyat menyambut antusias atas terbitnya rupiah republik ini. Sebuah harapan besar akan masa depan yang cerah. Meski kakek nenek kita harus rela dijatah hanya boleh memegang 50 rupiah setiap keluarga, untuk kemudian rupiah Jepang dimusnahkan oleh Pemerintah. Tetapi pada prakteknya dasar hukum UU No. 19 tersebut telah dilanggar sendiri oleh Pemerintah kita sehingga kita mendapati rupiah seperti sekarang ini. Tak ada jaminan emasny alagi. Dan harga emas, pada pertengahan tahun 2009, ini bukan lagi Rp 2/gram, tetapi di atas Rp 320.000/gram, yang artinya nilai rupiah kita dibuat merosot lebih dari 160.000 lebih rendah! Jelas Dinar-Dirham pernah berjaya selama lebih dari 600 tahun (1302-1942), tak hanya di Atjeh dan sebagian Sumatera tetapi juga di Sulawesi Selatan dan sebagian daerah di sumatera Timur. Maka, peredaran kembali Dinar Dirham di wilayah Indonesia sekarang ini, bukanlah sesuatu yang asing bagi kita semua.
0.000 SRY$0.00
Global
Global

Comments